BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin maju perkembangan zaman seiringan dengan itu juga kejahatan banyak
bermunculan di negeri pertiwi ini dengan berbagai metode. Salah satu
diantaranya adalah tindak pidana penggelapan (verduistering) sebagaimana yang
diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan pasal 377 KUHP. Menurut
Laminating, tindak pidana sebagaimana tersebut sebagai ‘’penyalahgunaan
kepercayaan’’. Sebab, inti dari tindak pidana yang diatur dalam Bab XXIV
tersebut adalah ‘’penyalahgunaan hak’’. Atau ‘’penyalahgunaan kepercayaan’’.
Tindak pidana penggelapan sering terjadi di berbagai kalangan, mulai dari
kalangan rendah hingga kalangan tinggi yang notabennya berpendidikan dan
mengertia hukum atas tindakan tersebut, namun kejahatan ini tetap saja terjadi
tidak hanya oleh masyarakat kecil bahkan seorang yang yang terpandang yang
seharusnya menjadi panutan pun ikut terjerumus dalam kasus ini.
Menilik banyaknya kasus kejahatan yang terjadi dikalangan masyarakat,
tentunya kita sangat prihatin. Termasuk kasus Penggelapan Pajak oleh PT Asian
Agri Group yang sangat merugikan negara.
1.2
Identifikasi Masalah
1.
Apa Pengertian Tindak
Pidana Penggelapan ?
2.
Apa saja jenis-jenis Tindak Pidana Penggelapan ?
3.
Apa saja unsur-Unsur
Pasal Tindak Pidana Penggelapan ?
4. Bagaimana Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan
(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Menurut R. Soesilo (1968.258),
penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362.
Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan
pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu
dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan
kejahatan.
Menurut Lamintang,
tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan
kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa
adanya unsur melawan hukum.[1]
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur
pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya
yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok
yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara
melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan
orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah
melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat)
tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus)
rupiah."[2]
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut
dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan
awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum,
bukan dari hasil kejahatan.
2.2 Jenis-Jenis Tindak pidana
Penggelapan
Berikut jenis-jenis
tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377
KUHP.
1) Penggelapan
biasa
Yang dinamakan
penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri
(zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2) Penggelapan
Ringan
Pengelapan ringan
adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak
lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3) Penggelapan
dengan Pemberatan
Penggelapan dengan
pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu
berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah
(Pasal 374 KUHP).
4) Penggelapan
dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan
dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang
yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu,
pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,
terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).[3]
2.3 Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana
Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif
meliputi perbuatan memiliki, sesuatu
benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif
meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal
penggelapan antara lain :
1) Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2) Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3) Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
4) Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana
surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara
selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah
beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena:
Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi
kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali
yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa.
Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah
seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah
dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak
dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa
atau yang lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);
Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh hakim dan diberi
kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh
pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu.
Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang
ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di
kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus
lembaga sosial atau yayasan.
5) Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah diceraikan
atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari
orang yang dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut
juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan
penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam
pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan
dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam
pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa
keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta
kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang
bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan
terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang
menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri
telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam
keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami
mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang
didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini
yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri.
Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah
yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.[4] Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat
diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.
2.4 Analisis Kasus Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
2.4.1 Kronologi Kejadian Perkara
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk
usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto.
Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling
kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5
triliun). Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah
naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources
International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech, Sateri
International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki
200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan
Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah
terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit
mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG,
bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di
Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006.
Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG –
yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh
perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam
akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen
penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11
Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Namun, sebelum itu, pada
tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan
dan data digital. Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar
2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara
terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan
harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil
dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti
oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena
memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan
perpajakan.Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin
Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik
dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan
serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik
yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14
perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa
penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).selain
itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya
perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232
miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri
diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp
2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT
periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga
berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada
bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing
berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka
tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di
samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang
tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG
tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun
majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu
perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak
ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua
pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak
hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini.
Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia,
bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah
divonis dan dihukum 11 tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta
Dharmasaputra – wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya
beredar di kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan
komunikasinya dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris
diproses secara pidana. Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming
melalui riset di bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan
PT AAG – yang menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus
penggelapan pajak tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan
P3-ISIP UI – yang melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan
bahwa pers (pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan
yang secara etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai
legitimasi untuk memperkarakan Tempo. Apa yang dialami Vincent dan Tempo
tersebut sebenarnya merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di
Indonesia selama ini. Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para
pengungkap fakta. Tetapi kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah
untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini
sering mengalami berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan
diperkarakan secara hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya
Kasus Udin, kasus Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans
Amanue, dan banyak lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut
menjadi alat untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal
ini dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.[5]
2.4.2 Analisis Kasus dan Penerapan Pasal
a. Modus Terdakwa
Modus yang dilakukan
PT AAG adalah Cara dengan menghindari pembayaran pajak melalui pembukuan
penjualan yang dibuat tidak sebagaimana mestinya. dengan cara menjual produk
minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di
luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali
ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan
begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
b. Unsur-Unsur Tindak
Pidana Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
Dihubungkan dengan TPPU,
dapat diuraikan dugaan TPPU sbb:
1. Pemilik Asian Agri (ST)
Alternatif yang dapat didakwakan:
- hanya diproses dakwaan penggelapan pajak dan pemalsuan surat jo
penyertaan KUHP;
-diproses secara kumulatif pemalsuan surat serta TPPU, tapi mengingat
penggelapan pajak sedang di sidik oleh PPNS, maka tidak mungkin digabung.
Karena TPPU disidik penyidik polri.
unsur-unsur Pasal 3
ayat (1) UU TPPU sebagai berikut :
1) Setiap orang, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Karena dinyatakan dengan kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa
melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal
ini, lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan masalah global.
2) Dengan sengaja, ini berarti orang yang disangkakan
melakukan Tindak Pidana Pencucian uang tersebut harus dibuktikan sifat
sengajanya, apakah sebagai bentuk kesengajaan sebagai kehendak, atau
perbuatannya itu memang dikehendaki, ataukah hanya karena bentuk pengeahuan,
artinya adanya pengetahuannya akan dampak dari perbuatannya.
3) Menempatkan; mentransfer; membayarkan atau
membelanjakan; menghibahkan atau menyumbangkan; menitipkan; membawa
keluar negeri; menukarkan atau perbuatan lainnya, yang adalah
masing-masing perbuatan merupakan suatu alternative yang cukup dibuktikan salah
satunya saja, kecuali seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus, maka
kesemuanya harus dituangkan dalam berkas perkara, seperti :
a) Menempatkan kedalam jasa
keuangan, artinya perbuatan memasukkan uang tunai kedalam penyedia jasa
keuangan, seperti menabung, membuka giro atau deposito (sipelaku /predicat
crime menyimpan sendiri hartanya).
b) Mentransfer, artinya
perbuatan pemindahan uang dari penyedia jasa keuangan satu ke penyedia jasa
keuangan lain (pelaku/ predicat crime memindahkan harta kekayaan yang
diperolehnya dari tindak pidana itu kepada pihak lain dengan menggunakan sarana
perbankan).
c)
Membayarkan atau
membelanjakan, artinya penyerahan sejumlah uang atas pembelian sesuatu benda
kepada seseorang atau pihak lain. (pelaku menggunakan uang hasil tindak
pidananya itu untuk membayar atau berbelanja, seperti membeli tanah, perusahaan
dsb).
d) Menghibahkan atau
menyumbangkan, artinya perbuatan hukum mengalihkan kebendaan secara
cuma-cuma, termasuk pengertian hibah dalam hukum perdata kepada
pihak lain maupun keluarganya.
e)
Menitipkan, artinya uang
hasil kejahatannya disimpan kepada seseorang, baik secara phisik, maupun
menggunakan sarana perbankan milik temannya itu sebagaimana ketentuan hukum
perdata.
f)
Membawa ke luar negeri,
artinya kegiatan membawa secara phisik atas kekayaannya, baik dalam bentuk uang
maupun benda lainnya tersebut dengan melewati batas wilayah Negara Republik
Indonesia.
g) Menukarkan, artinya
perbuatan penukaran mata uang ke mata uang asing (Valas) ataupun dari surat
berharga yang satu kepada surat berharga lainnya, termasuk penukaran benda
lainnya.
h) Perbuatan lainnya adalah
perbuatan-perbuatan diluar yang telah disebutkan diatas, seperti Over booking,
yaitu pemindah bukuan dari rekening satu kepada rekening lainnya dalam satu
bank, sehingga tidak termasuk transfer) dll.
4) Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, maksudnya orang tersebut dengan penilaiannya dia dapat
mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte
dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25 tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana ketentuan
pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda bergerak atau benda
tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, artinya bukan
saja lembaga perbankan dan asuransi, tetapi juga penyedia jasa keuangan lainnya
sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1 ke 5 UU TPPU yang menyebutkan penyedia
jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau
jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada
bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kostodian,
wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana
pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.
Baik atas nama sendiri atau orang lain, artinya sekalipun diatas namakan
rang lain sipelaku tetap saja tidak dapat dibebaskan dari perbuatan pencucian
uang.
Dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
2. Pasal 6 UU TPPU dikenakan terhadap keluarga ST dan/atau rekannya:
Pasal 6 ayat (1) TPPU menyatakan : “Setiap orang yang menerima atau
menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan
atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,-(lima
belas milyar rupiah)”.
Dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1)
Digunakannya kata setiap
orang, maka diperuntukkan tanpa melihat kewarganegaraan seseorang, artinya
semua orang dapat dikenakan pasal ini, lebih-lebih masalah Money Laundring ini
sudah merupakan masalah global . Menerima atau menguasai, penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a) Menerima atau menguasai
penempatan harta kekayaan, berarti sifat perbuatannya sebagai penampung uang
tunai bahkan hanya menguasai atau berada dalam kekuasaannya harta kekayaan ke
dalam system perbankannya, tanpa diperlukan suatu pembuktian siapa pemilik dari
harta kekayaan tersebut.
b) Menerima atau menguasai
pentransferan harta kekayaan, artinya seperti point 2 diatas, tetapi melalui
transaksi perbankan, bukan uang tunai.
c) Menerima atau menguasai
pembayaran harta kekayaan,merupakan perluasan ancaman kepada pihak-pihak, dalam
hal ini termasuk dalam konteks tindakan yang legal atau syah, sehingga
dibutuhkan suatu itikad baik dari penjual untuk membantu pemberantasan
kejahatan money laundering di Indonesia.
d) Menerima atau menguasai
hibah harta kekayaan, identik dengan point b diatas, tetapi dikhususkan untuk
tindakan pemberian.
e) Menerima atau menguasai
sumbangan harta kekayaan, sama dengan poin c untuk yang bersifat sukarela
sekalipun
f) Menerima atau menguasai
penitipan atau penukaran harta kekayaan, dalam hal ini menunjukkan betapa
sangat luas jangkauan larangan termasuk juga hanya untuk tindakan penitipan
yang berarti tanpa sifat kepemilikan sama sekali.
2) Yang diketahui atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, maksudnya, orang tersebut dengan
penilaiannya dapat mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat
memperkirakan (proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari
hasil kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang
no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan
(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Jenis-jenis tindak
pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP, diantaranya Penggelapan biasa, Penggelapan
Ringan, Penggelapan dengan Pemberatan, dan Penggelapan dalam Lingkungan
Keluarga.
Dalam Pasal Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif
meliputi perbuatan memiliki, sesuatu
benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif
meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum.
Berdasarkan hasil analis,
dapat diketahui bahwa Vincentius memegang peranan penting dalam menguak kasus
penggelapan pajak yang dilakukan oleh ST dimana Vincent sebagai Financial
Controller Asian Agri yang dimiliki oleh ST. Vincentius dalam kasus dugaan
penggelapan pajak ST ini berperan sebagai whistleblower. Lemahnya penegakan
hukum dan kurang komprehensifnya pengaturan mengenai perlindungan saksi secara
yuridis formal pada gilirannya membuat saksi enggan memberikan kesaksian
mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
Dalam Witness Protection Act
di USA, perlindungan terhadap whistleblower sudah mengakomodir agar terhadap
whistleblower diberlakukan penganuliran pendakwaan dan bukan hanya keringanan
hukuman seperti di Indonesia, tapi benar-benar dibebaskan. Guna mengungkap
kasus yang lebih besar, membebaskan pelaku dalam kasus kecil yang terlibat
dalam lingkup kasus besar tersebut. Hukum perlindungan saksi dan korban di
Indonesia tidak mengenal plea agreement. Prinsip yang terkandung dalam plea
agreement adalah untuk mendorong peran aktif saksi, sehingga diberikan suatu
penghargaan bagi siapapun yang berperan dalam melaporkan/membantu membongkar
tindak pidana. Selain itu masih terdapat pula plea bargain yang memiliki makna
bahwa saksi yang menjadi pelaku tersebut dapat bernegosiasi mengenai
pengurangan hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya di muka pengadilan.
Hukum mengenai perlindungan
saksi dan pelapor yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya memberikan keringanan hukuman
bagi pelaku pidana berdasarkan pertimbangan hakim yang diatur pada Pasal 10
ayat 2. Dasar hukum perlindungan saksi dan pelapor selain tercantum dalam
Undang-undang No. 13 Tahun 2006, juga terdapat dalam Undang-undang Pengadilan
HAM No. 26 Tahun 2000 pada Pasal 34, UNCAC pasal 32, Konvensi Palermo/ TOC pada
Pasal 24 dan Pasal 25.
Dalam rangka pelaksanaan
proses pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, Undang-undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU), telah mengatur mengenai
perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi yang dicantumkan pada Pasal 39
sampai Pasal 43 yang dikuatkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor
57[2]
Tentang Tatacara Pemberian Perlindungan Khusus sebagaimana yang diamanatkan
oleh Pasal 42 UU TPPU. Dalam pengaturan ini, terhadap saksi dan pelapor telah
diberikan perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri,
jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Dengan
pemberian perlindungan khusus tersebut diharapkan baik Pelapor dan Saksi
memperoleh jaminan atas rasa aman dan dapat memberikan keterangan yang benar,
sehingga proses peradilan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat
dilaksanakan dengan baik.
Menurut UU Kejaksaan, Jaksa
Agung bisa memakai kewenangan diskresinya melalui hak oportunitas untuk
menganulir pendakwaan bagi saksi pelaku yang berjasa dalam mempermudah proses
pengusutan suatu perkara. Penggunaan hak oportunitas ini pernah dilakukan Jaksa
Agung dalam menyingkap kasus korupsi di tanah air.
Mengingat kasus dugaan
penggelapan pajak oleh ST pada saat ini masih dalam proses penyidikan dan ditangani
oleh ditjen pajak, maka ada beberapa opsi yang sebaiknya dilakukan yaitu :
1. Untuk dijatuhkannya putusan terhadap pengambilan harta kekayaan
Vincent, harus diungkap penggelapan pajak oleh ST terlebih dahulu, apabila
terbukti uang yang dicuri/digelapkan berasal dari tindak pidana tsb.
2. Terhadap kasus penggelapan pajak yang terjadi, bisa langsung
dikumulatif dengan dakwaan money laundering.
DAFTAR PUSTAKA
Aprian,Dony.2013.(http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857185/redirect). [28 November 2013]
Al-Ayyubi,Sholahuddin.2013.(http://nasional.sindonews.com/read/2013/08/28/13/776556/sita-aset-asian-agri-ppatk-surati-5-negara). [28 November 2013]
[2]
http://blogspot.com//pengertian-yuridis-tindak-pidana-pengelapan-dalam-bentuk-pokok.html.
[3]
. Prof. Moeljatno, S.H., Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet. 29, hal.132.
[4]. Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html. diakses hari Kamis tanggal 01
Januari 2009.